Sabtu, 18 Juni 2011

MAKALAH ANALISISI KEBIJAKAN PENDIDIKAN: KURIKULUM DARI MASA KE MASA


Analisis Kebijakan Pemerintah tentang Kurikulum Pendidikan,Penetapan Kurikulum Nasional dan Lokal: Tela’ah Pendekatan, Tujuan dan Fungsi, serta Implikasi pada Pendidikan Islam
             
A.  PENDAHULUAN
Pemerintah sebagai lembaga yang berwenang mengatur sejumlah kebijakan  demi kebaikan dan keteraturan warga negaranya, sudah mengatur kebijakan-kebijakan yang salah satunya adalah tentang pendidikan. Kurikulum sebagai salah satu dari kebijakan yang ditentukan oleh pemerintah dalam pendidikan dalam hal ini oleh mentri pendidikan.
Kurikulum memegang kedudukan kunci dalam pendidikan, sebab berkaitan dengan penentuan arah, isi dan proses pendidikan yang pada akhirnya menentukan macam dan kualifikasi lulusan suatu lembaga pendidikan. Perkembangan kurikulum mulai dari sentralisasi, desentralisasi serta otonomi terhadap pendidikan selalu mengalami inovasi. Ini semua tidak terlepas dari usaha pemerintah, pelaksana pendidikan dan masyarakat demi tercapainya tujuan bersama yang diinginkan. Hal ini diharapkan dapat menjadi solusi awal dalam mengatasi rendahnya kualitas proses dan hasil pendidikan di Indonesia yang berakibat pada rendahnya rata-rata kualitas sumber daya manusia indonesia dalam konteks persaingan regional dan global.
Kebijaksanaan-kebijaksanaan kurikulum ini juga berdampak pada pengembangan kurikulum pendidikan islam.

B.  PEMBAHASAN
1.    Pengertian Kurikulum
Kata “kurikulum” berasal dari bahasa yunani yang semula digunakan dalam bidang olah raga, yaitu currere yang berarti jarak tempuh lari, yakni jarak yang harus ditempuh dalam kegiatan berlari mulai dari star hingga finish.[1]  Istilah kurikulum kemudian digunakan untuk menunjukkan tentang segala mata pelajaran yang dipelajari dan juga semua pengalaman yang harus diperoleh serta semua kegiatan yang harus dilakukan anak.[2]
Dalam bahasa Arab, istilah “kurikulum” diartikan dengan manhaj, yakni jalan terang. Dalam pendidikan, Al Khauly menjelaskan al-Manhaj sebagai seperangkat rencana dan media untuk mengantarkan lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan.[3] Kurikulum merupakan seperangkat pelajaran yang diberikan dalam suatu kegiatan belajar mengajar untuk mencapai suatu tujuan pendidikan tertentu.[4]
Kurikulum bukanlah sekedar suatu daftar mata pelajaran. Kurikulum memuat juga ketentuan mengenai bahan, komposisi bahan, sistim penyampaian dan sistim evaluasi. Dalam sistem pendidikan nasional Indonesia bahan kurikulum dibagi menjadi lima kelompok bahan belajar mengajar, yaitu (1) sikap dan nilai hidup; (2) pengetahuan; (3) keterampilan;(4) humaniora; (5) kewarganegaraan.[5]
Definisi kurikulum yang tertuang dalam UU Sisdiknas Nomor 20/ 2003 dikembangkan kearah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan  kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dengan demikian terlihatlah  komponen yang terlihat pada kurikulum yaitu tujuan, isi dan bahan pelajaran, serta cara pembelajaran, baik strategi pembelajaran maupun evaluasinya.
Jadi kurikulum pendidikan bisa dikatakan sebagai kerangka dasar yang menjadi acuan bagi tenaga kependidikan dalam melaksanakan, mengembangkan pendidikan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan berdasarkan undang-undang tentang pendidikan nasional dan merupakan salah satu upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.
2.    Perkembangan kurikulum pendidikan
a.       Kurikulum 1968
Kurikulum 1968 dilahirkan oleh pemerintah dengan tujuan untuk melakukan perbaikan serta peningkatan mutu pendidikan karena kurikulum yang sebelumnya cenderung mengakomodir sistem yang belum sejalan dengan jiwa UUD 1945.[6]Sebelum tahun 1968, kurikulum  masih banyak diwarnai untuk kepentingan kelompok atau golongan tertentu, kurang memperhatikan kebutuhan siswa, masyarakat dan negara.
Selain itu kurikulum sebelum 1968 terkesan belum integratif terhadap pengembangan budaya dan pengembangan persatuan serta kesatuan nasional. Kondisi ini disebabkan karena bangsa indonesia masih labil pasca diproklamirkanya kemerdekaan bangsa indonesia.
Dengan berakhirnya masa orde lama mendorong pemerintahan orde baru untuk mengadakan perubahan kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan bangsa Indonesia. Pada tahun awal ini masih banyak diwarnai oleh situasi orde lama, dengan pola pembangunan desentralisasi. Hal ini berpengaruh terhadap kurikulum 1968, dimana kurikulum sebagai pedoman penyelenggaraan pendidikan secara nasional penerapan didaerah diberi kebebasan menurut situasi dan kondisi daerah atau sekolah yang bersangkutan. Kurikulum 1968 secara nasional hanya memuat tujuan materi, dedaktik metodik dan tujuan evaluasi. Ini berarti kurikulum 1968 telah dikembangkan dalam nuansa otonomi. Adapun sistem pembelajaran diruang kelas, evaluasi dan penilaianya  diserahkan pada guru.[7]
Kurikulum 1968 sudah memiliki nilai inovasi dilihat dari perbaikan kurikulum sebelumnya dan berorientasi pada proses. Namun bentuk nuansa otonomi disini masih bersifat konfensional, belum begitu berkembang dan pembelajaran masih terpusat pada guru, guru dipandang dewasa dalam menjalankan kurikulum. Pembelajaran belum begitu menyentuh untuk kebutuhan, pengembangan potensi dan kreatifitas   serta keaktifan siswa.
b.      Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 adalah penyempurnaan terhadap kurikulum 1968 dengan menambah penekanan pada pencapaian tujuan pendidikan secara sentralistik. Selain memperhatikan proses juga memberikan perhatian untuk pencapaian tujuan pendidikan yang lebih merata dan berkeadilan.[8]
Kurikulum1975 berorientasi pada kepentingan-kepentingan guru di dalam melaksanakan tugas-tugas pengajaran. Untuk pelaksanaanya dimunculkan satu model yang dikenal dengan istilah PPSI (Prosedur Pengembangan  Sistem Instruksional). Model ini lebih dikenal dengan model satuan pelajaran yaitu berupa perencanaan pengajaran guru di ruang kelas. Guru lebih mendominasi proses pembelajaran, metode ceramah dan metode dikte sangat menonjol digunakan oleh guru. Kreatifitas kurang berkembang karena kurang mendapatkan dukungan dari konsep kurikulum. Kurikulum pendidikan dasar dan menengah tahun 1968 dan 1975 bersifat sentralisasi, hanya ada satu kurikulum untuk satu jenis pendidikan di Indonesia.[9]  
Kurikulum ini bersifat nasional, seragam, dikembangkan oleh tim pusat, guru-guru hanya berperan sebagai pelaksana di sekolah yakni menjabarkan rencana tahunan, catur wulan dan satuan pelajaran. Pada kurikulum  1975 ini bentuk pelaksanaan pembelajaran lebih didominasi pada bentuk teahcer centered/pelaksanaan pembelajaran terpusat pada guru.
c.       Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 adalah bentuk penyempurnaan dari kurikulum 1975, yang berorientasi pada proses dan menekankan pada keaktifan siswa di dalam proses pembelajaran. Adapun yang menjadi asumsi keberhasilan kurikulum 1984 adalah kurikulum ini memuat materi dan metode yang rinci sehingga guru dan siswa mudah melaksanakanya. Pelaksanaaya ditekankan untuk menggunakan buku-buku teks karena dianggap materi dapat terakomodinir dalam suatu bahan kajian yang sudah dikemas dalam bentuk buku teks.[10]Dalam kurikulum 1984 sudah ada muatan lokal yang disisipkan pada berbagai bidang studi yang sesuai.[11]
Fungsi guru disini dikembangkan sebagai fasilitator yaitu guru membelajarkan murid, dimana aktifitas belajar siswa yang melakukan dan fungsi guru hanya ditujukan untuk memberikan ransangan agar terjadinya kegiatan belajar oleh siswa. Mengingat perubahan fungsi guru ini maka kurikulum 1984 memunculkan satu model pembelajaran yang dikenal dengan istilah CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif).
Salah satu perbedaan yang signifikan kurikulum 1975 dengan 1984 adalah istilah “pengajaran” yang dialihkan menjadi “pembelajaran”. Pengajaran mengedepankan kunci pengajaran ada pada guru maka istilah pembelajaran keaktifan belajar ada pada siswa. Walaupun secara teori sudah terkesan student centered/mengedepankan keaktifan siswa namun pada pelaksanaanya pengertian aktif disini belum berkembang, pembelajaranpun masih banyak didominasi dengan keaktifan guru. Keaktifan siswa hanya dalam bentuk banyak bekerja/berbuat atas perintah guru, bukan mengedepankan aktif yang kreatif, inofatif.
d.      Kurikulum 1994
Kurikulum 1994 dinyatakan berlaku berdasarkan keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan nomor 060/U/tertanggal 25 februari 1993 untuk kurikulum pendidikan dasar dan keputusan mentri pendidikan dan kebudayaan Nomor 061/U/1993 dengan tanggal yang sama untuk SMU.
 Pengertian, tujuan, pelaksanaan, dan isi kurikulum yang dianut oleh kurikulum 94 secara resmi adalah tercantum dalam undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional. Kurikulum disini diartikan “ seperangkat rencana  dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar”. Bab IX pasal 37 kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik  dan kesesuaian dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan. Pelaksanaanya berlaku secara nasional  dan disesuaikan dengan keadaan  serta kebutuhan lingkungan dan cirikas satuan pendidikan (pasal 38).

Kurikulum 1994 dapat dikatakan masih belum bergerak dari pandangan mengenai pendidikan disiplin ilmu. Hal ini tergambar pada isi kurikulum  yang masih mempertahankan pendidikan keilmuan. Dalam landasan teoritiknya kurikulum 94 dapat dikatakan tidak berbeda dari kurikulum 84 yang juga menggunakan pandangan pendidikan keilmuan. Bahkan aplikasi pendidikan keilmuan 94 lebih kuat dibanding kurikulum 84. Dalam landasan teoritiknya dapat dikatakan bahwa kurikulum 94 bukan merupakan suatu inovasi tetapi lebih pada pengembangan pendidikan keilmuan kurikulum 1984.[12]
Pada kurikulum 1975 beranggapan  kurikulum dasar bagi guru mengembangkan proses pengajaran, pada UU nomor 2 Th.1989 pandangan yang dianut juga dasar bagi siswa untuk belajar. Jadi dapat dikatakan bahwa kurikulum 94 menjadikan  gabungan mengajar guru dan belajar siswa. Orientasi pada kegiatan siswa sangat menonjol dalam dokumen kurikulum 1994. Kurikulum 1994 pada hakikatnya menuntut siswa untuk lebih aktif melakukan proses pembelajaran, akan tetapi implementasinya active learning hanya bertumpu pada LKS, proses pembelajaran menjadi sangat monoton dan kurang menyenangkan.
Inovasi yang lain adalah struktur dan organisasi pengalaman belajar. Pengorganisasian pengalaman belajar dalam unit yang disebut catur wulan. Jumlah waktu belajar perminggu bertambah dari 37/38 menjadi 42 bagi SMU. Sedangkan untuk SMP dan SD kelas 5 dan 6 disamakan dengan standar SMA. Untuk kelas 1 dan 2 satu minggu terdiri dari 38 jam pertemuan, kelas 3 dan 4 menjadi 40 jam pertemuan.[13]
Selain itu alam demokratisasi yang semakin berkembang dalam kehidupan manusia tidaklah sesuai dengan sistem pendidikan sentralistik, karenaya dengan diberlakukan UU No. 22 tahun 1999, maka salah satu di antara aspek yang perlu mendapat perhatian  untuk memperoleh hak desentralisasinya adalah pendidikan.[14]
Dalam kurikulum 1994 ini secara teori masih didominasi  oleh pendidikan keilmuan, dalam artian penguasan terhadap konsep- konsep keilmuan (pedagogik) dan secara pelaksanaanya pendidikan keilmuan lebih diperluas serta dikembangkan lagi. Kompetensi afektif dan psikomotor masih diabaikan. Pengembangan, pembaharuan serta perbaikan pada sistem  sudah mulai dimunculkan.
e.       Kurikulum 2004
 UU No. 22 tahun 1999 serta UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan  Nasional, yakni pendelegasian otoritas pendidikan pada daerah dan mendorong otonomisasi di tingkat sekolah serta pelibatan masyarakat dalam pengembangan program-program kurikuler serta pengembangan sekolah lainya. Begitu juga pemberian otoritas untuk pengembagan kurikulum, kewenangan pemerintah kini adalah fasilitatif terhadap berbagai usulan pengembangan yang digagas sekolah.
Kurikulum 94 pembelajaran dan pengembangan kurikulum berbasis tujuan dan conten, sedangkan kurikulum 2004 pengembangan kurikulum berbasis pada pengembangan kompetensi (KBK).
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) adalah model dari sebuah kurikulum yang diperkenalkan di Indonesia sebagai model kurikulum 2004,dan menekankan pada perumusan yang jelas, ajek dan terukur tentang kompetensi yang harus dicapai oleh siswa setelah menyelesaikan proses pembelajaran pada jenis, jalur dan jenjang pendidikan tertentu, serta memiliki kompetensi yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja. [15]

Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan kerangka inti yang memiliki empat komponen yaitu: kurikulum dan hasil belajar, penilaian berbasis kelas, kegiatan belajar mengajar, dan pengelolaan kurikulum berbasis sekolah.[16]
Dalam UU RI No. 20 Th.2003 tentang sistem pendidikan Nasional BAB X pasal 36: (1)Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, (2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik,(3) kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka kesatuan RI, (4) ketentuan mengenai pengembangan kurikulum  lebih lanjut diatur oleh pemerintah.
Pada UU RI No. 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional ini tergambar jelas apapun bentuk kurikulum semuanya harus sesuai dengan standar dan tujuan pendidikan nasional. Kurikulum dapat dikembangkan sesuai dengan keinginan satuan pendidikan, potensi daerah, dan kebutuhan peserta didik, yang kesemuanya itu tidak keluar dari Sisdiknas. Kurikulum yang disusun sudah ditentukan untuk masing-masing jenis jenjang pendidikan dengan memperhatikan yaitu: (1) peningkatan iman taqwa,(2) peningkatan akhlak mulia, (3) peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik, (4) keragaman potensi daerah dan lingkungan, (5) tuntutan pembangunan daerah dan nasional, (6) tuntutan dunia kerja, (7) perkembangan ilmu pengetahuan tekhnologi dan seni, (8) agama, (9) dinamika perkembangan global, persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
Bahkan dalam peraturan pemerintah No. 19 tahun 2005 ditegaskan tentang kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) sebagai kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan.[17]
Namun PP No. 19 Th.2005 ini belum dapat dilaksanakan disemua sekolah, sehingga tahun 2006 Mendiknas melalui BSNP melahirkan Permendiknas No.22 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan sebagai bagian integral yang harus di muat dalam kurikulum KTSP oleh sekolah. [18]
Disini sekolah diberi otoritas besar namun struktur dari kurikulum sudah diatur sedemikian rupa oleh Depdiknas atau departemen teknis yang menyelenggarakan pendidikan, seperti departemen agama dengan pendidikan madrasahnya.
Untuk pengembangan KTSP oleh masing-masing satuan pendidikan BSNP telah menetapkan beberapa prinsip yang harus diperhatikan (BSNP, 2006: 5), yakni:
1.      Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan dan kepentingan peserta didik dan lingkungan
2.      Beragam dan terpadu
3.      Tanggap terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, tekhnologi dan seni
4.       Relefan dengan kebutuhan kehidupan
5.       Menyeluruh dan berkesinambungan
6.       Belajar sepanjang hayat
7.       Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.[19]
Pengembangan KTSP dilakukan dua tahap, yakni kurikulum sekolah/madrasah yang disusun bersama antara kepala sekolah/madrasah dan guru, serta kurikulum operasional untuk setiap mata pelajaran yang harus disusun oleh setiap guru.[20]
Guru dan kepala sekolah secara bersama menyusun kurikulum untuk kelas, sedangka guru secara operasional menyusun sendiri kurikulum untuk setiap mata pelajaran sesuai dengan panduan yang telah ditetapkan dan disahkan oleh kepala sekolah.
 Perhatian pemerintah pada pengembangan kurikulum 2004 terhadap pendidikan sudah dimaksimalkan dari segala sektor, terutama gambaran tentang tuntutan keaktifan siswa yang lebih mengutamakan proses dari pada hasil, proses pengembangan kognitif, afektif dan psikomotor. Kedepanya lagi disinilah fungsi, tugas sekolah/guru sebagai pengemban pelaksanaan pendidikan dilapangan.  
3.    Kurikulum Nasional dan Lokal
UU No.32 tahun 2003 tentang pemerintahan daerah dengan PP No. 25 Th. 2000 tentang kewenagan pemerintah juga berpengaruh pada pendidikan yaitu Pusat dan Kewenangan Pemerintah Daerah sebagai daerah otonom, mempunyai makna strategis dan operasional yaitu adanya otonomi pendidikan. Secara teknis operasional , pemerintah pusat dalam hal ini Direktorat Menengah Kejuruan, Ditjen Dikdasmen dan Depdiknas telah menyerahkan pengelolaan pendidikan dasar dan menengah kepada pemerintah daerah melalui dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota.[21] PP RI No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pada BAB II pasal 2 “Standar nasional pendidikan disempurnakan secara terencana, terarah dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global”.
Berdasarkan PP tersebut daerah memiliki kewenagan untuk mengembangkan silabus sesuai dengan kurikulum, keadaan sekolah, keadaan siswa serta kondisi sekolah. Oleh karena itu daerah diberi wewenang oleh pemerintah untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan tujuan dan kondisi daerah. Hal ini biasa dikenal dengan desentralisasi pendidikan, bukan berarti menghilangkan unsur-unsur nasional, tetapi diberi penimbangan yang pruporsional antara kurikulum nasional dan daerah (lokal).
UU No.20 tahun 2003 BAB X pasal 36 “pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujdkan tujuan pendidikan nasional”.Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi,proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan ,pembiayaan dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala(35).
Kurikulum dikembangkan oleh sekolah/madrasah, sementara silabus menjadi tanggung jawab masing-masing guru. Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar kedalam materi pokok pembelajaran,kegiatan pembelajaran dan indikator pencapaian kopetensi untuk penilaian. Dengan demikian unsur-unsur yang masuk dalam silabus yaitu rumusan standar kompetensi, rumusan kompetensi dasar, materi pokok, dan kegiatan pembelajaran disusun oleh pemerintah. Sementara kewenangan pemerintahan daerah adalah fasilitasi. Urutan kewenagan  dapat dilihat dalam tabel berikut ini.[22]
Pemerintah Pusat
Pemerintah Propinsi
Pemerintah Tingkat Kabupaten
Sekolah
Kelas/Guru
a.Penyiapan peraturan pemerintah
a.Penyesuaian buku teks
a.Komite pendidikan
a.Koordinasi Program
a.Rancangan kompetensi dan Indikator kompetensi, serta materi pelajaran
b.Penyiapan standar kompetensi tingkat nasional
b.Penyesuaian aturan-aturan
b.Pengalokasian anggaran
b.Komite kurikulum
b.Perencanaan pembelajaran
c.Penyiapan anggaran

c.Fasilitas pendidikan
c.Pelayanan administrasi
c.Strategi pembelajaran dan evaluasi

Berdasarkan tabel diatas lapisan yang memiliki kewenagan untuk mengatur dan menyusun kurikulum secara hirarkis adalah pemerintah pusat, tuntutan untuk fleksibelitas dan kebutuhan membuat Mendiknas memberi ruang yang cukup besar pada daerah untuk mengembangkan pendidikan, kemudian daerah mempercayakan pada sekolah sepenuhnya dengan membangun jaringan horizontal bersama akademisi, praktisi, birokrat serta kelompok masyarakat yang peduli pendidikan, yang bergabung bersama orang tua siswa dalam komite sekolah.
Sementara pemerintahan daerah hanya menfasilitasi berbagai kepentingan sekolah. Disini tergambarlah model sekolah demokratis yang lebih banyak ditentukan oleh komunitasnya sendiri.
4.      Implikasi Kebijakan Pemerintah tentang Kurikulum Pendidikan, Penetapan Kurikulum Nasional dan Lokal pada pendidikan Islam
Pengembangan pendidikan madrasah tidak dapat ditangani secara parsial tetapi memerlukan pemikiran pengembangan yang utuh, terutama ketika dihadapkan pada kebijakan pembangunan nasional bidang pendidikan.
Tahun 1970-an baru mulai adanya perhatian pemerintah yang ditujukan untuk pembinaan madrasah, seperti dengan lahirnya SKB 3 menteri tentang pengaturan pembakuan kurikuklum sekolah umum dan kurikulum madrasah. Pengakuan secara yuridis terhadap kelembagaan pendidikan Islam dengan cirikhasnya baru dapat dilihat dengan kehadiran UU Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di dalam UU tersebud pendidikan madrasah diakui sebgai subsistem pendidikan nasional.[23]
Dalam perjalanan historisnya, meskipun pendidikan Islam sering mendapat tekanan dan kurang mendapat perhatian yang memadai dari pemerintah dan kadang terkesan dianak tirikan namun pendidikan Islam telah berhasil didalam berbagai situasi masa sulitnya.
UU No.20 tahun 2003 merupakan wadah formal  terintegrasinya pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional.Terdapatnya peluang dan kesempatan untuk berkembangnya  pendidkikan Islam dapat dilihat pada pasal-pasal UU No.20 tahun 2003, seperti pasal 37 ayat 1 dan 2 dinyatakan bahwa isi kurikulum setiap jenis dan jalur serta jenjang pendidikan wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan dan bahasa. Dalam kaitan ini dijelaskan bahwa pendidikan keagamaan merupakan bagian dari dasar dan inti kurikulum pendidikan nasional.[24]
Jika ditilik dari program dan praktek penyelenggaraanya, pendidikan islam dapat dikelompokkan ke dalam lima jenis, yaitu (1) Pendidikan pondok pesantren dan madrasah diniyah yang menurut UU No. 20 Th.2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebut sebagai pendidikan keagamaan; (2) Pendidikan madrasah, yang disebud sebagai sekolah umum bercirikas agama islam; (3) pendidikan umum yang bernafaskan Islam yang berada dibawah naungan yayasan  dan organisasi Islam; (4) pelajaran PAI sebagai suatu mata pelajaran; dan pendidikan Islam dalam keluarga/lingkungan.[25]
 Pengembangan kurikulum PAI ternyata mengalami perubahan perubahan paradigma, hal ini dapat dicermati dari fenomena berikut: (1) perubahan dari tekanan hafalan dan daya ingatan tentang teks kepada pemahaman makna dan motivasi beragama Islam; (2) Perubahan dari cara berpikir tekstual, normatif dan absolutis kepada cara berpikir historis, empiris dan kontekstual dalam memahami ajaran nilai-nilai agama Islam; (3) Perubahan dari tekanan pada produk atau hasil pemikiran keagamaan Islam dari para pendahulunya kepada proses atau metodologinya sehingga menghasilkan produk;(4) perubahan dari pola kurikulum PAI yang hanya mengandalkan pada para pakar dalam memilih dan menyusun isi kurikulum PAI ke arah keterlibatan yang luas dari para pakar, guru, peserta didik dan masyarakat.[26]
Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa pada priode H.A. Mukti Ali (mantan Menag RI), ia menawarkan konsep alternatif pengembangan madrasah melalui kebijakan SKB 3 menteri, yang berusaha menyejajarkan kualitas madrasah dengan  non madrasah, dengan porsi kurikulum 70% umum dan 30% agama. Pada Priode menteri agama Munawir Sadzali menawarkan konsep MAPK. Dan pada priode mentri agama RI H. Tarmizi Taher menawarkan konsep madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas agama islam, yang muatan kurikulumnya sama dengan sekolah non madrasah. Kebijakan ini ditindak lanjuti oleh mentri agama berikutnya. Pada intinya kesemua tujuan dari mentri agama diatas eksistensi madrasah diarahkan pada tiga tuntutan minimal yaitu: (1) bagaimana menjadikan madrasah sebagai wahana untuk membina ruh atau praktek keislaman, (2) bagaimana memperkokoh keberadaan madrasah sehingga sederajat dengan sistem sekolah, (3) bagaimana madrasah mampu merespon tuntutan masa depan guna mengantisipasi perkembangan iptek dan era globalisasi.[27]
Pada KBK pendidikan agama Islam tahun 2004, terdapat daftar sejumlah kompetensi yang harus dimiliki siswa. Dengan kata lain bahwa kurikulum  tahun 2004 ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1)lebih menitik beratkan pada pencapaian target kompetensi dari pada penguasaan materi, (2) lebih mengakomodasi keragaman kebutuhan dan sumber daya pendidikan yang tersedia, dan (3) memberikan kebebasan yang luas pada pelaksana pendidikan dilapangan untuk mengembangkan dan melaksanakan program pembelajaran sesuai dengan kebutuhan.[28]
Meskipun secara konsep arah pendidikan Islam sudah banyak mengarahkan pada keaktifan, inovatif, kreatif, efektif untuk siswa namun pada pelaksanaanya, pembelajaran yang dilaksanakan kebanyakan masih tetap pada penguasaan konsep atau keilmuan . Ini ditandai dengan banyaknya lulusan dari pendidikan Islam yang masih kurang mampu untuk bersaing dalam dunia kerja. Dilihat dari penanaman nilai etika, moral dan akhlakpun, masih hampir sama dengan lulusan yang bukan dari pendidikan Islam. Jadi dengan arti kata bahwa kurikulum yang dilaksanakan dalam pendidikan Islam belum terwujud sesuai dengan yang diharapkan. 
Dengan perubahan dan perkembangan kurikulum pendidikan secara nasional, hal ini juga terimplikasikan pada pendidikan islam. Ini terlihat jelas dengan adanya perubahan-perubahan dan pengembangan pada pendidikan yang ada di madrasah, pondok pesantren, PAI di sekolah umum, dan pendidikan yang bernafaskan Islam.
Ini semua bertujuan untuk memenuhi UU RI No. 20 Th. 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional serta amanah dalam agam Islam untuk menuntut ilmu yang bermanfaat.  Sebagaimana hadis mengatakan : apabila meninggal salah seorang anak cucu Adam maka terputuslah segala amalanya kecuali tiga hal yaitu sadakah jariah, ilmu yang bermanfaat dan doa anak yang sholeh.

C.     Kesimpulan

Pendidikan apapun yang dilakukan sudah pasti tidak akan terlepas dari kurikulum atau apaun bentuk nama istilah dari kurikulum tersebut. Kurikulum ini penting karena merupakan dasar tujuan dari suatu usaha pendidikan yang dilaksanakan.
Kurikulum di Indonesia sering mengalami perubahan yang bertujuan untuk pengembangan, inovasi kearah kemajuan, untuk menjawab permasalahan dimasanya dan juga sebagai usaha untuk menjawab tantangan kedepan. Dan semua itu tidak terlepas dari pengaplikasian tujuan pendidikan nasional.
Usaha apapun yang dilakukan oleh pemerintah untuk pembaharuan dan pengembangan kurikulum, untuk keberhasilanya menuntut usaha dan kerja sama semua pihak. Dalam hal ini guru selaku pendidik dituntut untuk lebih meningkatkan, memaksimalkan usaha dan kemampuanya selaku pengembang serta pelaksana kurikulum di tingkat sekolah atau kelas demi terwujudnya hakikat/tujuan dari pendidikan.












DAFTAR PUSTAKA

       
Abdul Majid, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi(Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004) ,  Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2006.
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokrasi: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan,Jakarta: Kencana, 2007.
Depdiknas,Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Pendidikan Agama Islam Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliah,Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas, 2003.
E. Mulyana, Kurikulum Berbasis Kompetensi; Konsep, Karakteistik, Implementasi, dan Inovasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2003,cet.keempat.
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia, Jakarta: Kencana,2004.
Hasbullah, Otonomi Pendidikan;Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.
Lias Hasibuan, Kurikulum dan Pemikiran Pendidikan, Jakarta: Gaung Persada, 2010.
 Lilian D. Tedjasudhana, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka,1990.
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
 Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara,2009.
Trianto, Mendesain Model Pembelajaran inofatif-Progresif; Konsep,landasan dan implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ,Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2009















[1] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h.1
[2] Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara,2009), h. 78
[3] Muhaimin, Op cit, h.1
[4]Lilian D. Tedjasudhana, Ensiklopedi Nasional Indonesia, (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka,1990), h.240
[5]Ibid
[6] Lias Hasibuan, Kurikulum dan Pemikiran Pendidikan, (Jakarta: Gaung Persada, 2010), h. 94
[7] Ibid, h.95-96
[8]Ibid, h.97
[9] E. Mulyana, Kurikulum Berbasis Kompetensi; Konsep, Karakteistik, Implementasi, dan Inovasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2003),cet.keempat,H.66
[10]Lias Hasibuan, Op cit, h. 98
[11] E. Mulyana, Op cit, h. 66
[12] Lias Hasibuan, Op cit, h.101
[13] Ibid, h. 103-104
[14] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia,( Jakarta: Kencana,2004),h. 206
[15] Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokrasi: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan,(Jakarta: Kencana, 2007), h.64
[16] Abdul Majid, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi(Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004) , ( Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2006), h.66
[17] Ibid, h.64
[18] Ibid
[19] Dede Rosyada, Ibid, H.66-67
[20] Ibid, h. 69
[21]Trianto, Mendesain Model Pembelajaran inofatif-Progresif; Konsep,landasan dan implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ,(Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2009), h.3
[22] Dede Rosyada, Op cit, h.80
[23] Hasbullah, Otonomi Pendidikan;Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h.154-155
[24] Ibid, h.158-159
[25] Muhaimin, Log cit,h.9-10
[26] Ibid, h. 10-11
[27] Muhaimin, Ibid, h.197-199
[28] Depdiknas,Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Pendidikan Agama Islam Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliah, (Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas, 2003), h.5